Pacar Pertama
Hampir tujuh tahun sudah aku kuliah di salah satu perguruan tinggi teknik swasta ternama di kota Bandung ini, jenuh memang, tapi bagaimana lagi bukannya aku tidak ingin segera menyelesaikan kuliahku, bukan pula aku bodoh, itu semua dikarenakan kondisiku saat itu. Aku kuliah sambil bekerja di salah satu perusahaan milik teman kuliahku, saat itu aku terobsesi untuk mendapatkan uang agar tidak merepotkan orang tuaku yang memang pas-pasan. Selama aku kuliah aku dibiayai oleh kakak-kakaku yang lumayan mapan. Aku mulai bekerja saat kuliahku menginjak semester empat, dan mulai semester lima aku mulai jarang mengikuti kegiatan perkuliahan, paling tidak aku ke kampus hanya untuk mengikuti praktikum dan ujian saja, sehingga wajar saja jika IPK ku anjlok. Selain bekerja aku juga membuka rental komputer kecil-kecilan yang kukelola bersama kakak ke enamku, yang saat itu masih menganggur. Dan mulai saat itu aku mulai membiayai kuliahku sendiri, meskipun tak kupungkiri kakak-kakakku yang lain masih memberikan bantuan pada saat aku memintanya disaat aku benar-benar membutuhkannya.
Terus terang aku suka malas jika ada acara kumpul keluarga, karena setiap kumpul keluarga selalu saja ada yang bertanya,
“Kapan selesai?” (maksudnya kapan selesai kuliah?),
aku hanya bisa tersenyum, padahal dalam hatiku merasa dongkol. Belum lagi banyak komentar lainnya,
“Makanya kuliah ntu yang bener, jangan maen aja!”,
terus ada lagi yang komentar,
“Pacaran mulu sih...”,
padahal selama kuliah aku pacaran baru sekali itupun menjelang akhir-akhir kuliah.
Memang tak kupungkiri selama ini aku memiliki banyak teman perempuan yang cantik-cantik, namun diantara perempuan-perempuan tersebut tak ada satupun yang menjadi pacarku, ntah mengapa saat itu tak pernah sedikitpun terbersit dalam benakku untuk memiliki pacar. Sepertinya saat itu aku begitu menikmati kesendirianku tanpa pacar, aku lebih senang berpetualang menaklukkan gunung-gunung yang kudaki ataupun memanjat tebing-tebing yang menjulang tinggi bersama rekan-rekanku.
***
Peristiwa ini dimulai saat MABIM (Masa Bimbingan) tiba, atau dulu dikenal dengan istilah ospek atau mapram, dan lain-lain karena memang istilahnya ganti-ganti melulu padahal itu-itu juga sama-sama perponcloan, saat itu aku dipercaya menjadi salah seorang anggota panitia, kebetulan aku ditunjuk sebagai koordinator keamanan, karena memang setiap musim MABIM aku selalu menjadi anggota Keamanan. Mungkin karena penampilanku yang sangar, memang di tahun-tahun sebelumnya penampilanku mungkin menyeramkan, rambutku gondrong, ikal, hampir setiap hari memakai celana jins bolong, kaos blong item yang kucel dan dekil, pokoknya kayak preman deh. Namun saat ini penampilanku berubah, karena aku harus memangkas rambut gondrongku ketika aku melaksanakan kerja praktek di PT. Telkom.
Pada saat MABIM para peserta diharuskan memanggil kami dengan panggilan BOSS, dan aturan yang diberlakukan adalah:
Pasal 1
BOSS selalu benar
Pasal 2
Jika BOSS melakukan kesalahan, Lihat pasal 1!
Sehingga saat itu kami sangat berkuasa, sebagai seorang koordinator keamanan aku sangat ditakuti dan disegani oleh peserta, dan dihargai oleh panitia lainnya, karena wewenangku sangat besar, aku hanya patuh kepada ketua dan wakil ketua panitia, serta dosen tentunya.
MABIM hampir berakhir dan seperti kebiasaan, dua hari terakhir kami melaksanakan acara camping di Ranca Upas – Ciwidey, dan di sana kami melakukan perploncoan yang jauh lebih kasar jika dibandingkan saat kegiatan dilaksanakan di kampus, itulah tradisi di kampus kami.
Menjelang hari terakhir diselenggarakan acara api unggun, seperti biasanya pada acara-acara api unggun seluruh peserta dan panitia, semuanya berkumpul bersuka cita. Para peserta mengira bahwa perjuangan mereka mengikuti MABIM telah selesai. Padahal panitia telah mempersiapkan acara puncak yang lebih mengerikan bagi peserta.
Acara api unggun berakhir sekitar jam sepuluh malam, para peserta diperintahkan untuk tidur di tenda masing-masing.
Tepat pukul satu dinihari diadakan acara jurit malam, satu per satu peserta diculik dari tenda tanpa membuat keributan, sehingga peserta yang lain yang masih terlelap tidur tidak menyadarinya. Kemudian peserta yang telah diculik dikelompokkan menjadi masing-masing enam orang peserta dan diberangkatkan melakukan jurit malam mengikuti jalur yang sudah ditentukan.
Sementara panitia inti sibuk menculik dan mengatur pemberangkatan peserta, panitia yang lain telah terlebih dahulu berangkat menuju hutan dan membuat pos-pos sesuai dengan angkatannya masing-masing.
Aku sebagai koordinator keamanan tidak bisa hanya diam ditempat, ataupun di pos angkatanku. Aku terus menerus mobile, bergerak menyusuri jalan setapak yang akan dilewati para peserta, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Bolak-balik sampai beberapa balikan. Hingga akhirnya terasa lelah juga, dan aku beristirahat sebentar di Pos angkatanku yang letaknya di tengah-tengah jalur jurit malam, bergabung dengan kawan-kawanku.
Saat aku sedang beristirahat untuk melepas lelah, tibalah sekelompok peserta, diantara peserta tersebut terdapat dua orang perempuan dan salah satunya menarik perhatianku karena kecantikannya, dan memang selama MABIM pun dia selalu menjadi pusat perhatian. Lalu aku memanggilnya, karena kuasaku sebagai seorang koordinator keamanan.
“Sini kamu..!”, perintahku kepadanya.
Dan dia menghampiriku setengah ketakutan, sementara rekan-rekan seangkatanku mengerjai peserta lainnya dengan perintah yang lucu-lucu, yang mengundang gelak tawa kami. Lalu aku bertindak sebagai seorang senior yang bijak, dengan memberikan petuah-petuah bijak kepadanya, padahal semua itu bullshit (pen: omong kosong), belakangan aku tahu ternyata hal itu membuat dia terpesona dan tertarik untuk lebih mengenal aku. Lalu aku berkenalan denganya,
“Nama kamu siapa?”,
“Widhi...”, jawabnya dengan lirih.
“Udah punya pacar, belum?” godaku,
Dia terdiam,
“Jawab donk...!”,
“Belum...”, jawabnya setengah berbisik, sambil tertunduk malu.
“Masih ada kesempatan dong, jangan lupa ya sama boss Ugie”, aku kembali menggodanya.
Kemudian ia kuperintahkan kembali ke kelompoknya dan melanjutkan perjalanannya.
***
Jurit malam berlalu, semua peserta telah kembali ke basecamp, kemudian mereka dipersilahkan untuk bersih-bersih dan solat subuh, seolah acara telah selesai. Mereka saling bercanda, dan riang sekali merasa acara telah selesai. Mereka tidak menyadari bahwa panitia telah menyiapkan kejutan yang tak akan pernah mereka lupakan sepanjang masa.
Tepat pukul enam pagi, para peserta diperintahkan berkumpul kembali dan inilah puncak penyiksaan MABIM yang dulu pernah kurasakan bagaimana keras dan getirnya. Diantara para peserta ada yang hanya memakai celana saja, ada yang tidak bersepatu, karena mereka mengira acara sudah selesai.
Di lapangan yang luas para peserta diperintahkan hal-hal yang benar-benar menguji fisik dan mental, sambil dibentak-bentak, bahkan ditendang, para peserta diperintahkan melakukan koprol, jalan jongkok, merayap dengan mengunakan dada, menggunakan siku, punggung, dan anggota tubuh lainnya yang membuat luka-luka baret di sekujur tubuh, dan aku yakin rasanya pasti pedih sekali.
Belum cukup sampai disitu para peserta kemudian ditutup matanya dengan syal yang mereka kenakan, lalu satu persatu mereka dimasukkan ke dalam parit yang berisi lumpur yang kotor dan bau, sangat menjijikan tentunya. Mereka dicelupkan ke dalam parit satu persatu, disuruh menyelam, hingga seluruh kepalanya terendam. Mereka diperintahkan merayap sepanjang parit yang panjangnya kurang lebih dua puluh meter, sambil diteriaki para senior yang galak-galak di atas mereka.
Sesampainya di ujung parit, para peserta naik kembali ke atas, kemudian matanya ditutup kembali menggunakan syal yang mereka kenakan, satu persatu peserta di pisahkan saling berjauhan, diperintahkan berdiri dijemur di bawah teriknya sinar matahari siang itu. Udara di Ranca Upas memang sangat dingin sehingga teriknya sinar matahari yang membakar kulit kita takkan terasa, namun akibatnya kulit kita akan pecah-pecah karenanya.
Setelah semua peserta selesai melalui parit dan dijemur, satu persatu ditarik oleh panitia, kemudian mereka diperkenalkan dengan rasanya disetrum, satu persatu peserta diperintah memegang dua tiang besi yang kemudian dua tiang itu dialiri listrik masing-masing tiang dialiri listrik positif dan negatif, sehingga Dreeed..dreedd..dredd terasa sekali aliran listrik itu mengaliri tubuh kita, membuat seluruh otot-otot mengejang. Walau hanya beberapa detik saja sengatan listrik itu diberikan, namun rasanya luar biasa dahsyat. Aku bisa merasakannya, karena akupun dulu sama seperti mereka mengalami peristiwa seperti saat ini.
Setelah ajang perploncoan berakhir, seluruh peserta dibariskan dengan mata masih tertutup, mereka dituntun satu persatu oleh panitia, terlihat sekali mereka bingung, dan aku yakin dalam benak mereka pasti bertanya-tanya dalam ketakutan mau diapakan lagi saat ini. Dalam keadaan mental mereka yang drop sampai tingkatan yang paling rendah saat itu, setelah seluruh peserta berbaris rapi, kemudian ketua panitia mengumumkan bahwa acara telah berakhir, kemudian mereka dipersilahkan membuka penutup matanya.
Seluruh peserta bersorak sorai bergembira, saling berpelukkan satu sama lain, ada yang menangis terharu, ada yang melakukan sujud syukur, bahkan ada yang hanya diam saja mematung seolah tak percaya semuanya telah selesai, mereka merasa lega telah selesai melewati ujian untuk diterima menjadi anggota himpunan. Acara ditutup dengan upacara pelantikan yang diakhiri dengan penyematan pin himpunan di dada mereka, satu persatu panitia menyalami dan mengucapkan selamat kepada mereka, sungguh situasi yang sangat mengharukan.
***
Seminggu sudah MABIM terlewati, aktivitas kampus berjalan seperti biasa, dan akupun kembali tidak mengikuti kegiatan perkuliahan karena sibuk dengan pekerjaanku. Saat aku di rumah sepulang bekerja, tiba-tiba datang Uni salah seorang temanku, Uni adalah panggilan untuk dia karena berasal dari Padang, Sumatra Barat, dia perempuan tapi gerak-gerik dan tingkah lakunya lebih macho dari pada seorang laki-laki, dia jago karate berban hitam. Pokoknya jangan coba-coba deh mencari masalah dengannya.
“Gie, ada anak baru tuh, nanyain lo melulu...” Uni berkata kepadaku setengah berteriak,
“Siapa Ni, cewek apa cowok?”, sahutku.
“Alah..., pura-pura lo..”,
“Widhi, katanya dia penasaran pengen ketemu sama yang namanya BOSS Ugie?”, sambil nyengir Uni pergi menuju kost-annya yang memang dekat rumahku.
“Bentar Ni...!”, cegahku,
“Widhi yang cantik itu Ni...?, serius lo?”, sambungku.
“Iya beneran, jangan geer dulu lo...”,
“Hati-hati dia tuh jago karate juga, Ban hitam lho, kayaknya dia mau balas dendam deh ama lo..”,
“Makanya jangan galak-galak dong jadi orang tuh.....”, Uni sambil tertawa menggodaku dan pergi begitu saja, meninggalkan kepenasaran untukku.
Semenjak saat itu aku jadi kepikiran Widhi terus, aku jadi penasaran. Lalu hari Senin aku menyempatkan diri ke kampus, namun sayang aku tak berhasil bertemu Widhi.
Esoknya aku tidak ke kampus lagi, sepulang kerja ketika aku baru sampai di rumah, tiba-tiba telpon berdering, langsung kuangkat,
“Halo..?”, sapaku,
“Halo.., Gie cepet ke kost-anku, kalo nggak lo bakalan nyesel..!”, Suara Uni di telepon sambil tertawa kecil, dan tanpa menunggu jawaban dariku telponnya ditutup.
Walaupun masih capek, karena rasa penasaran, akhirnya aku pergi juga ke kost-an Uni. Sesampainya di sana aku langsung masuk ke beranda kost-annya, yang memang merupakan tempat anak-anak kost di sana menerima tamu. Dan di sana Uni sedang berbincang-bincang bersama seorang perempuan yang aku tidak kenal. Aku meliriknya dan tersenyum padanya.
“Ni, ngapain lo nyuruh gua kesini?”, tanyaku sama Uni penasaran,
“Sabar dong...!”, seru Uni sambil tersenyum.
Tiba-tiba muncul dari dalam kost-an Uni seorang perempuan cantik yang bikin aku penasaran, dengan malu-malu aku menyapa dia,
“Eh, Widhi..., udah lama?”,
Dia pun membalas dengan malu-malu,
”Lumayan..”
Walau awalnya malu-malu, lama kelamaan aku bisa juga akrab dengannya. Hampir satu jam aku di kost-an Uni. Kemudian dia dan temannya pamitan ke Uni karena hari menjelang maghrib, tak ketinggalan akupun mengikuti tentunya. Lalu akupun mengantarkan dia, awalnya aku tidak berniat mengantar dia sampai rumahnya, tapi saat sedang menunggu angkot, setelah temannya Widhi naik angkot duluan karena berbeda tujuan, aku iseng-iseng menawarkan jasa untuk mengantarkannya sampai rumah,
“Aku anterin ya sampe rumah..?”,
“Boleh kalo kamu tidak keberatan”,
“Tentu tidak, aku malah seneng, sambil sekalian jalan-jalanlah”,
dan dia tersenyum, senang sekali hatiku.
Sepanjang jalan menuju rumahnya kami berbincang-bincang seputar MABIM yang baru saja berlalu, kami banyak tertawa karena banyak kejadian-kejadian lucu pada saat itu.
“Gie, kamu waktu MABIM galak banget sih, semua teman-temanku bilang Boss yang paling menyeramkan katanya kamu lho”, cerita Widhi sambil tertawa kecil.
“Masa sih, perasaan aku jarang ngebentak-bentak peserta, tapi kenapa ya mereka takut banget sama aku, padahal penampilanku sekarang kan nggak seperti dulu waktu rambutku masih gondrong”,
“Iya sih, tapi auranya itu lho yang bikin serem, ga pernah senyum sih, kebayang ya waktu masih gondrong, tapi kalo aku sih tahu bahwa kamu orangnya baik”
“Tahu darimana Wid, aku orangnya baik?”, tanyaku tersanjung,
“Tahulah..., waktu jurit malam itu dari perkataanmu aku tahu kamu orangnya baik, makanya aku penasaran banget pengen tahu kamu lebih banyak, soalnya waktu jurit malam aku nggak bisa ngeliat wajah kamu dengan jelas Gie”,
“Jadi malu neh...”, aku tersenyum.
Sesampainya di rumah, Widhi mengajak aku masuk dulu, tapi aku masih malu, dan dengan halus aku menolaknya dengan alasan hari sudah malam.
***
Tiga hari kemudian, Uni meneleponku, Kriiiiiiiiing..
”Halo..?”, telpon kuangkat,
”Gie, ke kampus jam dua, ada yang mo ketemu lo, he.. he..!”, seru Uni,
“Siapa Ni..?”, tanyaku penasaran,
“Biasa.., pura-pura aja lo?”,
“Hehe...”, aku tertawa dan aku tahu pasti Widhi yang memintaku menemuinya.
***
Jam dua kurang sepuluh aku sudah berada di depan kampus, kulihat Uni baru keluar dari ruang kuliah,
”Ehm... ada yang janjian nih..!”, Uni mengejekku,
Aku tersenyum malu,
“Mana Ni??” sambungku menanyakan Widhi maksudku.
“Tunggu aja, paling sebentar lagi, kayaknya masih kuliah deh.., tapi sorry banget Gie, gue ga bisa nemenin lo, ada perlu nih...”, sahut Uni sambil beranjak pergi,
”Temenin dong..., bentar aja..”, aku merajuk.
“Ah dasar lo, manja amat sih adikku yang satu ini”, ia berbalik melihatku,
Selama ini aku memang sangat dekat dengan Uni, aku menganggap dia sebagai kakakku dan dia menganggapku sebagai adiknya.
“Please....”, aku merajuk lagi,
“Okedeh, tapi awas nanti lo kudu nraktir gua pizza!”, sahut Uni,
“Yup.”, aku mengiyakan sambil tersenyum.
Akhirnya Uni membatalkan niatnya untuk pergi dan dia mau menemaniku, sampai saat Widhi terlihat keluar dari ruang kuliah Uni pun pergi meninggalkanku tak dapat kucegah.
“Hai..”, sapaku,
“Hai, lama ya nungguin? sorry ya abis dosennya lama...”, sahutnya,
“Lumayan lah, kurang lebih 15 menit, nggak apa-apa, demi ketemu cewek secantik kamu sampai kapanpun aku pasti nungguin”, gombalku sambil tersenyum penuh makna untuknya.
Lalu kami berdua pergi meninggalkan kampus menuju PUJASERA (Pusat Jajan Serba Ada) yang tak begitu jauh dari kampus, untuk makan siang. Sambil makan aku dan dia asyik berbincang-bincang, dia mulai terlihat tertarik kepadaku, aku senang sekali. Dari obrolannya aku tahu ternyata semenjak jurit malam itu dia sudah mulai tertarik kepadaku. Seusai makan siang, aku mengajak dia mampir ke rentalku, karena tidak ada lagi jadwal kuliah. Di rentalku kami mengobrol panjang lebar, kami mulai saling membuka diri, sehingga kami mulai saling mengenal.
Selepas maghrib aku mengantarkan dia ke rumahnya, kali ini aku bonceng dia dengan sepeda motor bututku, sepeda motor yang kubeli dari uang hasil keringatku sendiri, sepanjang jalan dia bercerita tentang hobinya, cita-citanya dan lagu kesukaannya, untuk kedua kalinya dia mengajak aku mampir ke rumahnya, tapi aku masih menolaknya dengan halus.
***
Hari Sabtu sore aku jemput Widhi di kampus, kami langsung menuju ke rumahnya. Kali ini aku mampir dulu di rumahnya. Malam ini malam minggu pertama untukku, selama ini aku belum pernah merasakan yang namanya malam mingguan dengan perempuan, karena hampir setiap malam minggu aku selalu menghabiskan waktuku bersama kawan-kawanku yang memang sama-sama menjomblo, biasanya kami menghabiskan waktuku mengendarai sepeda motor berkeliling kota sepanjang malam, dan kembali pulang pagi harinya.
Memalukan memang, karena sebelumnya aku belum pernah punya pacar. Karena ini merupakan pengalaman pertamaku aku jadi kikuk dibuatnya, tidak tahu harus mulai dari mana. Namun sepertinya Widhi dapat membaca pikiranku, dia memulai membuka obrolan. Saat itu kebetulan di rumahnya hanya ada aku dan dia, berdua saja. Kami asyik ngobrol sambil sekali-kali aku memegang tangannya yang halus.
“Wid, kok kamu mau sih temenan sama aku”,
“Nggak tahu kenapa ya, semenjak pertama ketemu kamu aku ngerasa seneng kalo deket kamu Gie, kamu gimana?”,
“Sama aku juga seneng kalo ketemu kamu, apalagi bisa deket sama kamu”
”Kamu tahu nggak Wid, temen-temenku banyak lho yang naksir sama kamu, ada nggak Wid diantara mereka yang kamu taksir?”
“Ada sih...”,
“Siapa Wid?” aku penasaran
“Ada deh, pokoknya kamu pasti kenal banget sama dia”, sambil melirik manja ke arahku.
Dalam obrolannya aku bisa menangkap apa yang dia inginkan, aku tahu dia mengharapkan aku untuk menjadi pacarnya. Dari tingkah laku dan gerak geriknya aku tahu bahwa dia sangat mengharapkanku. Maka tanpa buang waktu, saat itu juga aku menyatakan cintaku kepadanya, sebelum pulang aku ungkapkan perasaan cintaku itu.
“Wid, sebelumnya aku minta kamu jangan marah ya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu...”,
“Ngomong aja, aku janji nggak akan marah”,
“Wid, semenjak aku kenal kamu, semenjak kita suka jalan bareng ada perasaan lain dihatiku, aku selalu mikirin kamu, aku selalu teringat kamu”,
“Oleh karena itu Wid aku mau nanya sama kamu”,
“Maukah kamu menjadi pacarku?, aku yakin dengan perasaanku kalo aku suka sama kamu, aku sayang kamu Wid”, ucapku,
“Gimana ya Gie, apakah aku harus menjawabnya sekarang?”,
“Terserah kamu Wid, yang pasti aku sangat mengharapkannya, aku akan menunggu jawabanmu sampai kamu benar-benar siap menjawabnya”,
“Baiklah Gie, aku akan pertimbangkan dengan sepenuh hatiku, tapi aku belum bisa memberikan jawabannya sekarang, nggak apa-apakan Gie?”
“Ok, nggak apa-apa, sekarang aku pulang dulu ya.., aku tunggu jawabannya” aku tersenyum sambil menatap wajahnya.
Saat itu dia tidak langsung menjawab, mungkin karena gengsi, tapi aku yakin dia pasti akan menerima cintaku.
Sesampainya di rumah, baru aku duduk sebentar sambil membayangkan Widhi. Tiba-tiba kriiing...kriiing.. telpon berbunyi. Aku langsung terperanjat kaget, lalu aku angkat telpon,
“Halo..”,
“Ugienya ada..?”, ternyata itu suara Widhi,
“Iya Wid, ini Ugie, ada apa Wid?”, tanyaku kaget,
“Ngga apa-apa, mau di jawab kapan Gie?”, dia balik bertanya,
“O..itu, secepatnya dong, kalo bisa sekarang aja ya?”, aku setengah memaksa,
“Baiklah kalo gitu..., aku juga sayang kamu...”, jawabnya,
“Ulangi lagi dong.. yang keras!” seruku seolah tak percaya,
“Aku sayang kamu...”, dia mengulanginya,
“Makasih Wid, aku sangat seneng mendengarnya, karena aku sangat sayang sama kamu Wid..”, gombalku,
“Ya udah kalo begitu, udah dulu ya, met bobo...”, ungkapnya,
”Ok, makasih say...mimpiin aku ya?”, teleponpun terputus.
Lega rasanya aku telah mendapatkan jawaban darinya, bahagia sekali karena saat ini aku mempunyai pacar yang cantik, perempuan tercantik di Jurusanku. Aku merasa bahwa aku orang paling beruntung di dunia ini. Aku harus mengumumkannya ke seluruh dunia, bahwa aku tak menjomblo lagi.
***
Semenjak saat itu, aku menjadi lebih rajin kuliah, seolah tumbuh semangat baru dalam diriku, Ialah Widhi yang membuat aku menjadi bersemangat untuk menyelesaikan kuliahku, semenjak saat itu aku menjadi lebih fokus terhadap kuliahku yang sebelumnya terbengkalai, dan aku rela keluar dari pekerjaanku. Padahal sebelumnya aku bimbang antara menyelesaikan kuliahku atau memfokuskan diriku pada pekerjaan. Dan saat ini aku putuskan aku harus menyelesaikan kuliahku. Bukan hanya karena Widhi, walau tak kupungkiri itu adalah faktor terbesar yang membuat aku berubah pikiran, tapi karena aku juga tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku. Apalagi saat itu aku mendapat surat ancaman DO (Drop Out) jika aku tak dapat menyelesaikan kuliahku tahun ini.
Di kampus berita tentang aku pacaran dengan Widhi menyebar cepat, mulai dari angkatan bawah yang seangkatan dengan Widhi sampai dengan angkatan di atasku seolah-olah semuanya mengetahui peristiwa itu, ntah dari mana. Pada saat aku datang ke kampus kawan-kawanku mengucapkan selamat kepadaku, ada yang turut senang dan ada pula yang merasa kecewa karena “bunga” di kampusku itu telah menjadi pacarku. Dan aku menjadi bangga karenanya. Terutama Budi, teman seperjuanganku saat melaksanakan kerja praktek yang kelihatan sangat kecewa, karena ternyata selama ini dia memang menginginkan Widhi jadi pacarnya.
“Sialan lo Gie..., diem-diem lo nyalip kita-kita”, ungkapnya.
“Sorry bud, gue kan ga tahu lo suka ama dia.., lagian siapa cepet dia yang dapet bud”, timpaku sambil tertawa.
“Lo tau nggak Gie, Widhi itu lagi diperebutin ama Aku, Ochenk, Roni dan Dany”,
“Eh tau-tau lo maen nyonong aja, ngembat dia”, lanjutnya kecewa.
“Wah beneran?, kalo gitu hebat dong gue bisa ngalahin kalian..”, sambungku sambil tertawa.
“Iya deh.., gua percaya ama keexpert-an lo soal cewek Gie”, sahutnya.
Aku hanya tersenyum, dalam hati aku tertawa karena selama ini Budi selalu mengira kalo aku ini seorang playboy, padahal boro-boro playboy, pacaran aja baru sekarang, tapi aku sering merasa heran bukan main, karena kawan-kawan seangkatanku selalu mengira aku playboy. Mungkin karena aku sering disapa cewek-cewek cantik kampus tetanggaku yang merupakan pelanggan rental komputer yang kukelola. Atau mungkin juga karena aku bersahabat sangat dekat dengan Cahoy, yang memang terkenal sebagai seorang playboy tajir yang sering sekali gonta-ganti cewek cantik.
***
Dua bulan sudah aku menjadi pacar Widhi, dan selama itu hatiku selalu berbunga-bunga dibuatnya, ternyata jatuh cinta itu Indah, padahal selama ini aku selalu bangga dengan status jombloku, mungkinkah aku mengalami pubertas yang telat, entahlah, yang pasti selama dua bulan ini hatiku sumringah bukan main, kalo istilah Ahmad Dani, vokalis grup band Dewa, inilah mungkin yang disebut merinding disko. Hari-hariku seolah tersita hanya untuk Widhi.
Namun setelah lewat dua bulan mulailah terjadi konflik antara aku dan Widhi, entah siapa yang memulai, atau apa sebabnya sampai sekarangpun aku tak tahu, yang pasti secara tiba-tiba dan tanpa alasan serta tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk membela diri dia marah kepadaku, seolah-olah dia begitu membenciku, entah kenapa.
Semakin hari aku semakin bingung kenapa tiba-tiba sikap Widhi berubah kepadaku. Yang tadinya penuh cinta, tiba-tiba berubah drastis 180 derajat. Aku mencoba mencari informasi lewat Uni, namun Uni pun tak tahu apa yang telah terjadi. Uni malah menyalahkanku,
“Elo sih Gie, buru-buru amat jadian ama dia, lo kan belon kenal benget ama dia, baru seminggu deket dia, lo udah jadian”,
“Padahal waktu baru kenal lo, Widhi bilang ga bakalan dulu jadian, katanya dia takut easy come easy go, tapi nyatanya dia mau juga cepet-cepet jadian sama lo, gini deh jadinya terbuktikan easy come easy go?, kalian emang sama-sama gila, gila akibat cinta...”, ceramah Uni menyalahkan.
“Iya Ni, abis gimana lagi, dia mancing-mancing gue molo buat nembak, lagian gue emang suka banget ama dia Ni, gue sih nggak kepengen kejadiannya kayak gini, makanya gue nanya lo ada apa dengan dia Ni? lo kan deket ama dia”,
“Terus terang Gie, gue ga tau apa-apa, gue sempet nanya ke dia tapi dia ga mau bilang Gie, dia memang orangnya keras kepala sih Gie, lo kudu sabar Gie”,
“Ya.. gimana lagi Ni, gue cuman bisa sabar aja kali ya..”, aku menyerah.
***
Suatu malam minggu aku mendatangi rumahnya, setelah beberapa kali malam minggu aku tidak mendatanginya semenjak perubahan sikapnya itu, tujuanku untuk mendinginkan suasana, aku mencoba berlagak seolah tak pernah terjadi apa-apa, seolah semuanya biasa saja.
“Hi, Wid...”,
aku menyapanya ketika dia membukakan pintu untukku walau dengan ekspresi yang dingin, tak seperti biasanya. Dia tak menyahut, dia langsung duduk di kursi di beranda rumahnya, akupun mengikutinya duduk di hadapannya.
Aku mencoba meraih dan menggenggam tangannya, namun dia melepaskan seolah dia jijik kepadaku. Dan hal itu membuat aku bete. Aku memulai pembicaraan,
“Widhi sayang..., kenapa sih kamu jadi begini?”, tanyaku.
Lama dia terdiam,
“Widhi sayang..., seandainya aku berbuat salah kepadamu, tunjukkanlah salahku dimana? aku pasti akan memperbaikinya, demi kamu apapun akan kulakukan Wid...”, rayuku,
Akhirnya Widhi bicara juga, dengan nada yang datar,
“Gie, kenapa sih kamu nggak pernah mau mengerti aku?”,
“Kenapa sih kamu begitu over protected?”.
Kali ini aku yang terdiam, aku bingung dengan semua pertanyaan dia, over protected?, baru kali ini aku mendengar istilah itu, dan perasaan aku tidak pernah melarang apapun keinginan dia, mengerti?, wajarlah aku belum mengerti tentang dia seluruhnya, pacaran saja baru dua bulan lewat. Belum seumur jagung pun.
“Lebih baik kita putus aja Gie...”, sambungnya terlihat linangan air mata di sudut-sudut mata Indahnya.
Duarrrr... mendengar ucapannya itu hatiku seolah tersambar petir yang teramat dahsyat, dan aku mencoba menguasai situasi.
“Wid.. semudah itukah kau menyatakan putus, apakah tidak ada kesempatan buatku untuk memperbaiki kesalahanku? Wid, aku sangat mencintaimu, tak tahukah kamu Wid, kamu adalah segalanya untukku, please.. Wid, please... kemana cinta yang selama ini kau berikan untukku Wid...???”, tanyaku.
“Iya Gie, selama ini aku memang mencintaimu, tapi sepertinya kita nggak pernah bisa cocok, kamu nggak pernah bisa memahami perasaanku Gie..”, sambil menyeka air mata di pipinya.
“Tapi bisa kita coba lagi kan Wid..., tolonglah katakan apa yang harus kulakukan? Selama ini kamu tak pernah mengatakan apa yang kamu inginkan dariku Wid..!!!”,
“Nggak bisa Gie..., seharusnya tanpa harus kukatakan, kamu bisa memahami keinginanku Gie..!”,
Aku terdiam,
“Sudahlah Gie, sekarang tinggalkan aku sendiri, untuk saat ini aku hanya ingin sendiri Gie, maafkan aku Gie...”, dia mengusirku dengan halus dan dia beranjak masuk ke dalam rumah meninggalkanku sendiri, seolah dia tak mau lagi melihatku.
Aku berdiri terpaku, lalu dengan lunglai aku pergi meninggalkan rumahnya, hancur hatiku dibuatnya, separuh jiwaku telah direnggut olehnya, Widhi yang telah mencuri hatiku, kini mencampakkanku tanpa ampun, tanpa memberikanku kesempatan untuk membela diri. Meninggalkan sejuta pertanyaan yang tak pernah ada jawabnya.
***
Semenjak aku diputuskan Widhi aku mencoba tegar, aku mencoba memfokuskan diri pada kuliahku, aku memulai menyusun laporan Tugas Akhirku yang sempat terbengkalai. Namun hatiku tetap tak bisa dibohongi, aku begitu merindukannya, Dia yang telah mencuri hatiku, mempermainkannya, kemudian meremukkannya, tapi entahlah aku tak pernah bisa melupakan dirinya. Setiap melihat dia di kampus hatiku bagaikan disayat belati, terkenang saat-saat dia masih menjadi pacarku, terkenang ketika dia mencampakkanku tanpa ampun.
Sebulan semenjak kejadian itu, ketika aku sedang duduk-duduk di depan kampusku, saat sedang berbincang-bincang dengan kawan-kawanku, tiba-tiba dari belakangku sepasang tangan dengan jari jemari yang halus dan lembut menutupi kedua mataku, mengejutkanku. Aku genggam tangannya dan perlahan melepaskannya dari mataku, saat kutengok ternyata dia adalah mantan pacarku yang telah mencampakkanku, dialah Widhi. Perasaanku jadi tak menentu antara bahagia, kaget, bingung, dan tak percaya dengan kejadian ini.
“Hai, sombong ih...”, ucapnya dengan riang dan manja seolah-olah tak pernah terjadi konflik diantara kami.
Aku tertegun sejenak, masih terkaget-kaget. Tapi aku cepat tersadar dan mengendalikan diri.
“Eh, kirain siapa..., apa kabar Wid?”, aku salah tingkah.
Selanjutnya aku dan Widhi berbasa-basi, tidak jelas temanya apa. Dan tanpa dikomando kawan-kawanku tampaknya mengerti situasi, mereka langsung bubar meninggalkan kami, dan tinggallah kami berdua.
“Eh, iya Gie, ntar malem kamu mau kan dateng ke rumahku....?”,
“Ada apa emang?”, tanyaku heran bercampur penasaran.
“Pokoknya dateng aja, klo ngga dateng ga bakalan ada kesempatan lagi”, sambungnya.
“Okedeh aku usahain...”, janjiku dalam keraguan.
“Ya udah aku kuliah dulu ya, see u tonight...” sambil tersenyum dan berlalu meninggalkanku dalam kepenasaran.
***
Selepas maghrib aku berusaha menelepon Widhi untuk konfirmasi bahwa aku mau ke rumahnya, namun saat kutelepon ternyata dia belum pulang. Lalu beberapa jam kemudian aku coba menelepon dia lagi, namun tetap dia belum juga ada di rumah, akhirnya aku putuskan seandainya dia meneleponku, baru aku akan mendatangi rumahnya, jika tidak, mendingan aku tidur saja di rumah.
Sampai malam aku tunggu-tunggu, dia tak kunjung meneleponku. Membuat aku bertanya-tanya dalam hatiku untuk apa dia menyuruhku datang, apakah hanya untuk mempermainkan perasaanku saja. Ah... perempuan memang sulit dimengerti keinginannya apa, sebentar begini, sebentar begitu, membuat pikiran laki-laki jadi bingung.
Keesokan harinya aku bertemu Widhi,
“Wid, kemarin kamu kemana aku telepon kamu ga ada terus, katanya nyuruh aku ke rumah?” tanyaku.
“Aku kan nyuruh kamu ke rumahku, bukan meneleponku, sudahlah Gie, sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan...”, sambil berlalu tanpa mempedulikanku.
“Wid, jadi maksud kamu...?”, ungkapku terputus karena Widhi berlalu masuk ke dalam ruangan kuliah setengah berlari. Sekali lagi dia membuat aku penasaran yang tak kunjung habis. Aku hanya bisa terduduk lemas, memikirkan kemungkinan seandainya kemarin aku ke rumah dia tanpa harus menelepon dulu, mungkinkah dia mau balikan lagi menjadi pacarku. Oh itu harapanku, tapi bodohnya aku, kenapa aku tidak datang ke rumahnya. Kenapa aku harus menunggu telepon darinya. Menyesal aku sejadi-jadinya.
Aku heran melihat sikap mantan pacarku ini, terkadang dia begitu hangat kepadaku, tapi dilain waktu dia begitu dingin lebih dingin dari es di kutub selatan. Inilah yang membuat laki-laki penasaran. Suatu ketika dia menegurku dengan hangat, dan bercerita tentang hal-hal yang membuat aku tertawa, tapi tiba-tiba dia mengacuhkanku, padahal aku berada di depan hidungnya, namun seolah-olah dia tidak melihatku.
***
Dalam ketidakpastian cintaku akhirnya aku menyerah untuk meraih kembali Widhiku. Dan aku mulai berpaling, saat itu tanpa sengaja aku bertemu dengan seorang perempuan yang dua tahun lebih tua dariku, perempuan itu bernama Eva, dia cantik, centil dan agresif, dan sifatnya yang agresif itu membuat aku dekat dengannya. kami tak sengaja bertemu saat sama-sama mengikuti suatu pelatihan manajemen di sebuah hotel di Bandung. Dan ternyata dia masih tetangga dekat rumahku juga, namun baru kali itu aku mengenalnya. Semenjak saat itu aku dekat dengannya. Bagiku Eva hanya sebagai batu loncatanku untuk melupakan Widhi, dan lumayan semenjak saat itu sedikit demi sedikit aku mulai bisa melupakan Widhi. Ditambah lagi aku bertemu dengan Rini, seorang perempuan yang dulu pernah kudambakan untuk menjadi pacarku, dia satu tahun angkatan di bawahku di jurusan lain di kampusku, namun dia itu tipe perempuan jinak-jinak merpati, yang selalu memberikan harapan, namun begitu hendak kutangkap dia terbang menjauh.
Selama hampir empat tahun aku tak jumpa dia walupun kami satu kampus, dan tiba-tiba sekarang aku bertemu dengannya, ternyata dia baru pindah kost ke belakang rumahku. Rini seorang gadis yang cantik, langsing berambut lurus panjang sepinggang, tipikal perempuan idamanku. Dia memang cantik, namun untuk mewujudkan dia menjadi seorang pacar rasanya susah bukan main, mendekati dia memang mudah, karena dia memang mudah akrab, namun saat menyatakan perasaanku padanya, dia hanya menanggapinya seolah aku bercanda, berulang kali aku melakukannya, dan berulang kali pula dia menanggapinya dengan bercanda, hingga akhirnya kami hanya menjadi teman, teman tapi mesra seperti lagunya Ratu. Lumayanlah daripada tidak sama sekali, yang penting akhirnya pikiranku, hidupku, dan semangatku untuk menyelesaikan kuliahku tak terganggu lagi oleh bayang-bayang Widhi.
Beberapa bulan berlalu, aku melalui hari-hariku dengan keceriaan yang semu. Terkadang aku habiskan hariku bersama Eva yang secara terang-terangan dia menyatakan cinta kepadaku, tentu saja aku tidak menanggapinya karena dari semula aku tak pernah mencintainya, aku hanya butuh dia sebagai teman saja, walaupun dia cantik tapi entah kenapa aku tak bisa mencintainya. Hatiku seolah tertutup untuknya. Tapi walaupun aku tidak menanggapinya dia tetap setia menanti cintaku, membuat aku merasa menjadi seorang Don Juan.
Dilain kesempatan aku terkadang berkunjung ke kost-an Rini, yang memang berada di belakang rumahku hanya untuk sekedar mengusir rasa kesepian di hatiku. Aku selalu merasa nyaman jika sedang berduaan dengannya, mungkin karena aku memang menaruh hati kepadanya. Seandainya dia mau jadi pacarku mungkin aku akan bahagia sekali. Namun ntah kenapa dia selalu menghindar jika aku mengungkapkan perasaan cintaku itu. Suatu hari aku menanyakan hal itu kepadanya, dan terbongkarlah rahasia yang selama ini terpendam.
“Rin, kenapa sih kamu nggak pernah mau jadi pacarku?”,
“Emang kamu beneran mau jadi pacarku Gie?” dia balik bertanya setengah bercanda,
“Beneran Rin, aku serius, sekali-sekali serius kenapa Rin?”, Aku agak sedikit kesal,
Kami berdua terdiam sejenak, kemudian Rini bercerita,
“Baiklah akan aku ceritakan Gie, tapi kamu jangan marah ya..”,
Aku mengangguk tanda setuju.
“Sebenarnya aku juga suka sama kamu Gie, bahkan mungkin aku juga mencintaimu, mungkin kamupun bisa merasakan itu, namun aku nggak bisa menerimamu jadi pacarku Gie, karena aku sudah punya pacar Gie..”, sambungnya
“Udah punya pacar? Kok nggak pernah keliatan?” tanyaku seolah tak percaya.
“Iya Gie, aku sudah punya pacar, hampir tiga tahun kami pacaran Gie, saat ini ia sedang menyelesaikan kuliahnya di Malaysia, akhir tahun ini dia akan melamarku, orang tuaku sudah menyetujuinya, oleh karena itu aku nggak bisa nerima kamu Gie, kamu ngertikan Gie?”,
“Maafkan aku ya Gie, kalo selama ini aku nggak mau ngasih tahu kamu tentang hal ini, aku takut kamu jadi benci sama aku...”,
“Aku tahu aku salah, aku telah memberikan harapan kepadamu, aku mungkin telah mengecewakanmu, tapi aku melakukan itu semata-mata karena aku memang menyayangimu Gie, tapi aku tak kuasa dengan statusku saat ini, maafkan aku ya Gie, aku nggak bermaksud mempermainkanmu Gie...”, matanya berkaca-kaca seolah menyesal telah mengatakan hal ini kepadaku.
“Nggak apa-apa Rin, aku ngerti, aku nggak marah kok Rin”, aku mencoba tenang, walau sebenarnya aku kecewa.
“Kamu masih mau jadi temanku kan Gie?”,
“Pastilah...”, aku meyakinkannya.
***
Kasih Tak Sampai
Sore itu aku sedang duduk-duduk di halaman depan rental komputer yang merupakan tempatku mencari nafkah. Tiba-tiba lewat di depanku seorang gadis yang cantik berkulit kuning langsat, berpostur tinggi, dan langsing yang mampu membuat seluruh perhatianku tertumpu padanya. Walau hanya selintas saja aku memandangi dirinya, namun entah mengapa semenjak saat itu aku selalu teringat dirinya, aku selalu berharap untuk bertemu lagi dengannya. Dan dalam hatiku aku bertekad aku harus bisa berkenalan dengannya.
Namun beberapa hari kemudian saat dia berkunjung ke rentalku, hatiku menjadi ciut, padahal kesempatan di depan mata, aku sia-siakan begitu saja, aku tak punya keberanian untuk berkenalan dengan dirinya. Aku hanya bisa memandangi dirinya yang sedang asyik di depan komputer, sampai beberapa jam dia di rentalku aku tetap tak punya keberanian untuk mendekatinya dan berkenalan dengannya.
Kesempatan itu datang lagi, kesempatan untuk berkenalan dengannya, dengan mengerahkan segenap keberanian yang ada, aku mencoba menggerakkan bibirku, hanya untuk mengucapkan sebuah pertanyaan kepadanya. Saat itu dia datang lagi ke rentalku, tanpa buang waktu aku mendekati dia dan bertanya padanya,
“Ehm, nama kamu siapa?”, pertanyaan klasik dan mungkin memalukan, tapi dia meresponnya dengan baik,
“Indah”, jawabnya singkat dengan nada malu-malu.
Lalu percakapan semakin berkembang, dan saat itu aku mulai mengenal dia, perempuan yang selama ini membuat aku penasaran.
Hari demi hari aku semakin sering bertemu dia, saat dia lewat depan rumahku aku selalu menyapanya meski hanya dengan pertanyaan yang klasik pula,
“Mau kemana?”,
itu pertanyaan yang paling sering kulontarkan, dan diapun selalu menjawabnya dengan malu-malu.
Tanpa kusadari aku dan dia sudah lama saling sapa, tepatnya aku yang selalu menyapa dia, dan akhirnya aku mulai memberanikan diri untuk minta nomor teleponnya, awalnya dia tidak mau memberitahukannya, namun karena aku terus memohon akhirnya dia memberikan juga nomor telepon untukku. Aku mulai sering menelepon dia, hingga ujung-ujungnya aku mulai berkunjung ke kost-an dia, karena dia di Bandung kost tak jauh dari rumahku, sedangkan orang tuanya tinggal di Cianjur.
Semakin lama aku dan dia semakin akrab, hingga suatu hari aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan cintaku kepadanya, namun saat itu dia tak langsung memberikan jawaban, dia minta tempo tujuh hari.
***
Hari ketujuh semenjak aku menyatakan perasaanku padanya tiba, dengan tegang aku berharap dia mau menerimaku untuk menjadi pacarnya, dan kira-kira jam 17.00 tiba-tiba telpon berdering, langsung ku angkat, dan di seberang telepon terdengar suara perempuan yang tak asing lagi suaranya, ternyata dia meneleponku untuk memberikan jawaban “Ya”, dan dia meminta aku menemuinya di depan kampusnya.
Dengan perasaan suka cita aku pergi menjemput dia, di depan kampusnya aku menunggu beberapa saat, hingga akhirnya dia terlihat keluar dari kampusnya lalu menghampiriku, aku langsung menggenggam tangannya, kamipun berjalan bergandengan tangan menuju ke kost-an.
Semenjak saat itu aku semakin sering jalan bareng dengannya, aku semakin jarang di rumah, aku memang sangat mencintai dia, hampir tiap hari aku berkunjung ke kost-annya. Semenjak saat itu pula aku tak pernah lagi mengunjungi Eva maupun Rini. Bahkan pernah suatu ketika saat aku sedang berjalan bergandengan tangan dengan Indah, aku berpapasan dengan Eva, dan aku hanya tersenyum kepada Eva seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara aku dan Eva. Terlihat jelas dari raut muka Eva ekspresi kekecewaan dia terhadapku, dan semenjak saat itu Eva seperti menjauhiku, dan aku tak peduli akan hal itu. Karena hatiku saat ini hanya untuk Indah seorang.
Karena seringnya frekuensi pertemuan kami, maka tak terhindarkan lagi hubungan kami sampai melewati batas, suatu ketika dengan mengatasnamakan cinta aku dan dia terbawa hasrat manusia yang tertunggangi bisikan setan yang terkutuk, terbuai oleh kesunyian saat tiada seorangpun diantara kami, kami bergumul menuai dosa, mencari kenikmatan sesaat yang akan menjadi petaka, untungnya kami tersadar oleh derit suara pintu besi gerbang kost-an yang terbuka, dan terdengar langkah kaki bersepatu high hills. Kami berdua segera bangkit dan merapikan pakaian kami masing-masing, hampir saja kami melakukannya, hubungan seperti layaknya suami istri. Untungnya Anne teman kost Indah datang, sehingga kami terlepas dari hasutan setan yang semakin lama semakin dahsyat mengipasi bara asmara kami. Namun dosa telah terlanjur tercipta.
***
Enam bulan sudah aku berpacaran dengan dia, aku merasa penasaran ingin mengenal orang tuanya, awalnya dia menolak untuk mengenalkan aku kepada orang tuanya dengan alasan orang tuanya melarang dia berpacaran. Tapi aku selalu memaksa, dan akhirnya diapun menyerah, sehingga aku bisa menemui orang tuanya dan mengenalnya.
Namun semenjak aku mengenal orang tuanya aku jadi ragu dengan kelanjutan hubunganku, aku jadi bingung, karena aku yakin orang tuaku tak bakalan merestui hubunganku dengannya. Pasalnya, ternyata orang tuanya hanyalah seorang penjaga villa di kawasan puncak. Saat pertama kali bertemu orang tuanya aku mengira mereka itu pembantunya, ternyata itu adalah kedua orang tuanya, hal ini yang membuat aku menjadi ragu, aku memang sangat mencintainya, namun aku ragu untuk melanjutkan hubunganku lebih jauh, setelah mengetahui kondisi orang tuanya seperti itu, karena aku tahu persis ibuku pasti bakalan menentang keras hubunganku dengannya saat tahu bagaimana keadaan orang tuanya. Bukannya aku merendahkan orang tuanya, namun begitulah kenyataannya.
Walau dalam kebimbangan aku tetap mencoba untuk bertahan dalam menjalani hubungan asmaraku dengan dia, karena aku mencintainya, tapi terkadang keraguan itu muncul membayangi diriku, hingga suatu saat terbersit dalam benakku untuk memutuskan hubunganku dengannya.
Semenjak saat itu hubunganku dengan dia sering dihiasi konflik, ntahlah mungkin karena kekecewaanku mendapati kondisi orang tuanya, aku sering marah-marah hanya karena hal-hal sepele kepadanya. Dan setiap kami bertengkar selalu diakhiri dengan tangisannya, dan setiap dia menangis aku selalu menyesalinya. Namun hal itu selalu terulang lagi, lagi, lagi, dan lagi.
Setahun sudah aku menjalani asmara dengannya, dan enam bulan terakhir kami selalu bertengkar. Tapi anehnya walau sering bertengkar aku selalu merindukannya dan hampir setiap hari pula aku tetap selalu menemuinya, mungkin karena aku benar-benar mencintainya.
***
Suatu hari Indah menerima kabar tentang Ibunya yang mendapat serangan jantung, dan saat itu juga aku mengantar Indah pulang ke Cianjur untuk menjenguk ibunya. Sesampainya di Cianjur kami langsung menuju rumah sakit tempat dimana ibunya dirawat. Alangkah terkejutnya aku, karena menurutku rumah sakit tempat ibunya dirawat sangatlah tidak layak untuk disebut sebagai sebuah rumah sakit, ruangan yang sempit seperti kamar kost-an, pengap dan gelap temaram, di dalam sebuah bangunan yang tidak terawat, dari luar, gedung yang disebut rumah sakit itu nampak seperti bekas sebuah toko meubel yang tak terawat, menyedihkan sekali, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa berdiam diri.
Aku menginap di rumah sakit tersebut menemani Indah, semalaman aku tak bisa tidur karena tidak ada tempat untuk aku tidur. Sementara Indah tidur menggelar tikar di lantai di sebelah ranjang ibunya, aku berjalan-jalan ke luar menikmati udara malam, saat aku duduk di sebuah bangku di depan rumah sakit tersebut, tiba-tiba seorang perempuan menghampiriku, perempuan itu nampak lebih tua beberapa tahun dariku, dengan pakaian yang sexy memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang berisi, menggoda pandangan setiap laki-laki.
“Belum tidur?”, sapanya menggodaku sambil menghampiri dan duduk disampingku.
“Ga, bisa tidur teh.”, jawabku sekenanya.
“Siapa yang sakit teh?”, sambungku.
“Ibu sama nenekku, capek deh ngurusin dua pasien sekaligus”, jawabnya sambil tersenyum.
“Kok belum tidur juga teh?”, lanjutku.
“Iya neh, banyak sms ngegodain aku, jadi aku nggak bisa tidur, bacalah..”sambil memperlihatkan SMS di telepon genggamnya.
Gila, ternyata di sms itu tampil gambar yang tidak senonoh, gambar laki-laki dan perempuan yang sedang berasyik masyuk, membuat libidoku menjadi naik karenanya.
“Wah gila, teteh doyan yang begituan”, seruku setengah menggodanya.
Dia tersenyum, dan kamipun berkenalan, lalu dia menceritakan pengalamannya dengan beberapa orang laki-laki. Ternyata dia seorang janda berusia 32 tahun beranak satu, asli Cianjur, perempuan itu bernama Santi. Dia menceritakan hal-hal yang mengundang hasrat kelaki-lakianku, beberapa saat kemudian, sambil menyimak ceritanya aku berdiri menggerak-gerakan badanku seperti senam pemanasan, ternyata pegal juga sedari tadi duduk di bangku itu.
“Kenapa Gie, pegel ya? ”, dia bertanya disela-sela ceritanya.
“Iya neh, apalagi kakiku ini pegel banget, mungkin bekas perjalanan tadi pagi.”,
“Sini aku pijitin deh kakinya”, sambil menyuruhku duduk lagi.
Lalu aku duduk lagi, dan kakiku kuselonjorkan di paha Santi. Kemudian mulai memijat kakiku dengan lembut, mulai dari telapak kaki, jari-jari kaki, betis, kemudian naik ke paha, lihai sekali sepertinya dia sudah terbiasa melakukannya. Saat dipijat di bagian paha inilah, naluri kelaki-lakianku terpancing, libidoku naik nyaris tak dapat kubendung. Seketika itu juga aku menurunkan kakiku dari pangkuannya.
“Kenapa Gie? Sakit ya?”, tanyanya. Saat aku menarik kakiku.
“Nggak cuman geli aja, udah ah.. makasih banget ya enak banget pijitannya”, jawabku, sambil menggeser posisi dudukku agak menjauhinya.
Aku takut tak sanggup menahan hasratku oleh pijitan-pijitan mesranya, saat itu imanku masih kuat, walau libidoku hampir memuncak aku berhasil menghindarinya. Dia tersenyum, aku yakin dia tahu apa yang kurasakan saat itu, dan dia hanya tersenyum dan menatapku genit. Aku mohon diri darinya karena ngantuk. Akhirnya aku tertidur juga dengan posisi duduk disamping Indah yang sedari tadi sudah terlelap.
Keesokan paginya aku terbangun kesiangan, saat aku membuka mataku kulihat Indah sedang duduk di samping Ibunya yang tak berdaya, tergeletak di atas ranjang rumah sakit, dilengkapi dengan aksesoris infus yang menggelantung. Lalu aku bangun dan menghampirinya.
“Gimana say, kamu mau ke Bandung lagi, atau masih mau di sini?”, tanyaku.
“Aku, di sini aja dulu ya Gie, aku khawatir dengan keadaan mama, mudah-mudahan besok atau lusa aku sudah bisa ke Bandung”, jawabnya lemas.
“ya udah, kalo gitu aku pulang duluan ya, nanti siang aku ada bimbingan sama dosen say, nggak apa-apa kan?”, sambungku.
“Ya udah, kamu pulang aja Gie, doain ya biar mama cepet sembuh”.
***
Seminggu kemudian Ibunya Indah meninggal, aku mendapat kabar tersebut langsung dari ayahnya, karena Indah sulit dihubungi. Ayahnya menghubungi telepon genggamku selepas maghrib.
“Hallo, ini Ugie?”, tanyanya di telepon dengan logat jawa yang kental.
“Betul pa ini Ugie, ada apa pa?”, tanyaku sopan dan kaget, karena baru kali ini ayahnya meneleponku.
“Gie, tolong kasih tahu Indah ya, mama meninggal tadi sore, soalnya henpon Indah sulit dihubungi, telpon kosnya juga sama, gitu aja ya Gie, terima kasih”, sambungnya, suaranya terdengar sedih, seperti menahan kepedihan yang mendalam karena ditinggalkan perempuan yang setelah sekian lama selalu menemaninya dalam suka dan duka.
Mendengar kabar tersebut aku jadi bingung, tak tahu harus bagaimana, hal tersulit yang harus kulakukan adalah menyampaikan berita menyedihkan seperti ini. Tapi aku harus menyampaikannya. Saat itu juga aku langsung ke kost-an Indah. Aku langsung ke kamarnya.
“Eh, Ugie..”, sapanya saat melihatku, dia tidak merasa heran karena aku sudah terbiasa mengunjunginya tiba-tiba.
“Sayang, barusan bapa nelepon aku”,
“Ada apa Gie?”, tanyanya kaget, dan mulai merasa curiga bahwa sesuatu telah terjadi.
“Sabar ya sayang, tadi bapa ngasih kabar, kalo mama...”, tak sanggup aku mengatakannya.
“Kenapa dengan mama Gie?”, Indah penasaran.
“Mama meninggal tadi sore...”, sambungku, sambil langsung kupeluk tubuhnya.
Indah menangis dipelukkanku, aku berusaha menenangkannya.
“Tabah sayang, tabahkan hatimu”,
“Sekarang mari kita segera ke Cianjur, bapa pasti sudah menunggumu”, bujukku.
Aku mengantar Indah ke Cianjur malam itu juga, menggunakan mobil milik kakakku, aku meminjamnya demi pacarku tercinta yang sedang dirundung haru. Sepanjang jalan Indah menangis, sementara aku memacu mobil sekencang mungkin bagai seorang pereli Paris Dakkar, agar segera sampai di Cianjur. Namun sesampainya di Rumah Sakit, ternyata jenazahnya sudah dibawa pulang ke rumah. Aku tahu berita itu dari Santi yang masih menunggui ibu dan neneknya di sana. Saat aku masuk ke dalam rumah sakit itu, aku berjumpa dengan Santi yang seperti ketika perjumpaanku sebelumnya dia mengenakan pakaian yang mengundang hasrat kaum Adam, dengan genit dia mengatakan baru saja jenazahnya dibawa pulang ke rumah.
Tanpa membuang waktu aku langsung pergi menuju rumah Indah. Dalam beberapa menit kami sampai di rumahnya, nampak jelas sekali kalau penghuni rumah tersebut sedang dirundung duka. Begitu sampai di sana Indah langsung berlari ke dalam rumah tanpa menghiraukanku. Aku paham dengan perasaannya, dan aku pun turut berduka atas meninggalnya beliau. Aku teringat saat beliau masih hidup, saat pertama kali aku dikenalkan kepadanya dia berpesan,
“Nak Ugie mama titip Indah ya..., tolong jagain dia ya!” dengan logat jawanya yang khas.
Keesokan harinya aku turut mengantarkan jenazah dikebumikan, aku mendampingi Indah, terlihat jelas Indah sangat terpukul karena kehilangan ibunya, matanya sembab bekas menangis semalaman, namun saat ini terlihat lebih tenang, mungkin dia telah mengikhlaskannya.
Usai pemakaman, sesampainya di rumah Indah, aku langsung pamit pulang ke Bandung, aku peluk dia, aku berusaha membesarkan hatinya agar dia tabah menerima semua itu. Saat itu aku sadar, bahwa aku sangat mengasihinya, hatiku telah terjerat cintanya.
***
Musim MABIM datang lagi, saat ini aku tidak menjadi panitia, karena aku sudah angkatan tua, angkatan yang seharusnya sudah tidak kuliah lagi, biasa dipanggil dengan SWASTA, saat MABIM, acara SWASTA merupakan hal yang paling ditakuti oleh peserta, SWASTA merupakan gabungan dari angkatan tua yang belum lulus ditambah para alumni yang masih sering aktif berkunjung ke himpunan, biasanya alumni-alumni yang merupakan mantan-mantan pejabat di kampus atau aktivis pada kegiatan-kegiatan di kampus dahulu. SWASTA punya acara sendiri saat hari terakhir MABIM di kampus. Biasanya acaranya sangat penuh kekerasan dan tidak manusiawi, sehingga para peserta sampai berdarah-darah. Acara yang diselenggarakan SWASTA biasanya menyedot perhatian banyak orang, baik dari jurusan kami sendiri maupun dari jurusan lain. Inilah contoh perploncoan nomor wahid yang kami selenggarakan setiap tahun sebagai suatu tradisi turun temurun di kampus kami.
Seperti biasanya setiap puncak acara MABIM selalu diselenggarakan di Ranca Upas, Ciwidey. Pada kesempatan inilah aku bertemu kembali dengan Widhi yang merupakan salah satu anggota keamanan, jabatan yang dahulu selalu kupegang. Saat itu aku tidak berencana untuk menemui dia, namun tanpa disangka dia menghampiriku.
“Hai Gie... apa kabar?”, dia menyapaku dengan penuh kerinduan. Membuatku sedikit merasa geer.
“Hai Wid...,”
“Baik Wid, Wah kamu makin cantik aja Wid.” Aku memujinya.
“Ah, kamu bisa aja. Kemana aja sih Gie jarang keliatan?” sahutnya manja.
“Nggak kemana-mana, masih di Bandung, kamu aja yang sombong”,
“Gie pulang nanti, aku ikut kamu ya?”,
“Boleh, tapi aku pake motor Wid, gak apa-apa?!?”, jawabku setengah tak percaya.
“Gak apa-apa, nanti tungguin aku ya...!”, serunya sambil berdiri pergi meninggalkanku karena acara segera dimulai.
“Ok”, jawabku pasti.
Saat itu aku seperti bermimpi, bisa berbincang-bincang lagi dengan orang yang pernah mencintaiku sekaligus menyakiti hatiku. Dan dia mengajakku pulang bareng, bahagia sekali rasanya saat itu, sampai-sampai aku lupa bahwa aku sudah punya Indah. Inilah sifat bawaan laki-laki, tak pernah puas dengan satu perempuan. Dan selalu memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh perempuan.
Tapi hari itu aku tak jadi pulang bersama Widhi, karena dia diceburin ke kolam oleh para peserta saat acara balas dendam karena dia dianggap BOSS perempuan paling galak, dan dia basah kuyup, sehingga tidak bisa segera pulang, dan disinilah egoku muncul, aku tak mau menunggunya, sehingga akhirnya aku pulang sendiri. Hilang lagi kesempatanku untuk menikmati kebersamaan bersama Widhi, tapi untuk saat ini aku tak merasa kecewa, karena aku sudah memiliki Indah yang sudah menantiku di kost-an.
***
Sebulan lagi Indah akan melaksanakan sidang Tugas Akhir di kampusnya, dan aku sangat bangga dengan pacarku ini, karena dia termasuk cepat dalam menyelesaikan kuliahnya. Namun ternyata diam-diam Indah telah menduakanku, tanpa sengaja aku memergoki dia sedang ditelepon seorang laki-laki yang tidak kukenal. Saat kutanyakan siapa, Indah bilang itu teman kuliahnya. Saat itu aku percaya saja.
Sepandai-pandai orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga, begitulah yang terjadi dengan Indah, saat aku baca SMS di telepon genggamnya, seketika itu juga darahku terbakar rasa cemburu yang teramat sangat. Bagaimana mungkin perempuan yang selalu kupuja, kusayangi, kucintai, dan kupercaya tega mengkhianatiku. Tapi aku mencoba menenangkan diriku,
“Indah, tolong jelaskan siapa laki-laki ini?”, sambil kutunjukkan SMS di telepon genggamnya.
Indah hanya menangis menyesal.
“Indah, jelaskanlah...!”, nada suaraku agak menanjak.
“Gie maafkan aku, aku tak punya niat sedikitpun untuk menduakanmu, sungguh...” dia meratap, sambil menangis untuk meyakinkanku.
“Lantas kenapa kamu melakukan ini semua?”, tanyaku.
Hening sejenak,
“Semua ini aku lakukan, karena kamu nggak pernah mau berubah Gie...”, Ungkapnya.
“Berubah bagaimana?” aku memotong, setengah membentak.
“Kamu nggak pernah mau melakukan apa yang aku minta Gie, kamu selalu saja memaksakan keinginanmu kepadaku, aku jenuh Gie, aku bingung, seandainya kamu mau berubah Gie, aku pasti nggak akan seperti sekarang ini.”
“Memaksakan apa?” tanyaku.
“Aku selalu bilang Gie, hentikan apa yang selama ini kita lakukan berdua, kita sudah melangkah terlalu jauh Gie, semenjak kejadian waktu itu aku sadar Gie, kita sudah melewati batas, untunglah waktu itu Anne keburu datang, kalau tidak, ntah apa yang terjadi, kita sudah terlalu banyak melakukan dosa Gie, sadarlah Gie, nanti juga setelah menikah kamu pasti akan mendapatkannya lebih dari itu.”
Aku terdiam, menahan amarah yang bisa kapan saja meledak. Aku sadar memang selama ini aku selalu memaksakan kehendakku padanya, aku selalu marah apabila dia menolak kehendakku untuk sekedar menumpahkan hasratku padanya. Hal itu dikarenakan keraguanku dalam melanjutkan hubunganku dengannya. Aku memang sengaja mencari-cari alasan agar bisa putus dengannya, namun saat ini aku menyesal, ternyata selama ini aku telah menyakitinya. Aku mencoba tenang, dan melangkah pergi meninggalkan Indah dalam tangisannya. Namun tiba-tiba Indah mencegahku,
“Jangan pergi, Gie...!”, cegahnya,
Aku berhenti melangkah, dan berbalik menatapnya.
“Sebaiknya, kita selesaikan masalah ini sekarang juga Gie!”, sambungnya, berusaha agar tetap tenang.
“Ok, sekarang mau kamu gimana Ndah?”, aku menantang.
“Gie, aku mau kamu jujur, apakah kamu masih mencintaiku?”,
“Ya, aku selalu mencintaimu, tapi kamu mengkhianatiku Ndah”,
“Lalu maukah kamu mengikuti keinginanku, untuk merubah sikapmu kepadaku”,
Aku terdiam, bingung harus bilang apa, satu sisi diriku aku sangat mencintainya, namun mengingat keadaan orang tuanya yang pasti akan menghambat perjalanan cintaku, aku menjadi berfikir saat ini adalah saat yang tepat untuk putus dengannya.
“Kok kamu diam aja Gie, aku selalu mencintaimu Gie, tak mungkin aku mengkhianatimu, tapi aku nggak mau kalo kamu seperti itu, aku mau kamu mencintaiku karena hatimu memang benar-benar mencintaiku, bukan karena hasratmu pada tubuhku Gie”, sambungnya sambil berlinang air matanya.
“Lalu bagaimana dengan laki-laki itu?”, sahutku pedas.
“Dia bukan siapa-siapa Gie, percayalah..., kami berkenalan di bis sewaktu aku pulang ke Cianjur kemarin, kami tidak ada hubungan apa-apa Gie, percayalah padaku Gie”,
“Sudahlah Ndah, lebih baik kita akhiri saja hubungan kita sampai di sini, maafkan aku Ndah jika selama ini aku selalu memaksakan keinginanku, maafkan aku telah membuatmu kecewa, tapi semua itu aku lakukan karena aku mencintaimu, terima kasih Ndah atas semua kebahagiaan yang telah kamu berikan selama ini, biarlah semua kenangan Indah bersamamu selama ini, akan kubungkus rapi di dalam hatiku, aku tahu akan sangat sulit bagiku untuk bisa melupakanmu, namun aku harus bisa, aku rela berpisah denganmu bila itu kan membuatmu bahagia, sekali lagi maafkan aku Ndah...”, ucapku dengan berat. Lalu aku beranjak pergi meninggalkannya.
“Gie...???”, Indah kehabisan kata-kata, dia hanya bisa menangis.
Sejujurnya apa yang aku ucapkan itu bukanlah dari lubuk hatiku, semua itu kuucapkan semata-mata karena terpaksa, karena aku sadar cepat atau lambat aku dan Indah harus berpisah, karena cinta kami tidak akan pernah bisa bersatu tanpa restu dari orang tuaku. Sakit rasanya hati ini, aku tahu Indah mencintaiku, dan aku percaya padanya bahwa laki-laki itu bukan siapa-siapa baginya. Aku kenal betul dirinya.
Semenjak kejadian itu aku sering melamun, aku selalu memikirkan Indah, bagaimana mungkin tidak merasa kehilangan, setelah dua tahun lebih aku berpacaran dengannya, dengan frekuensi pertemuan yang sangat tinggi. Rasanya lebih sakit daripada waktu aku diputuskan oleh Widhi. Luka akibat putus cintaku dengan Widhi telah lama kering, dan kini timbul luka baru di hatiku yang sangat parah, luka yang menganga karena saking dahsyatnya perasaan cintaku pada Indah yang terpaksa harus aku akhiri. Secara fisik dan kepribadian, Indah adalah tipe perempuan idealku, parasnya cantik, tubuhnya tinggi langsing ideal, kulitnya kuning langsat, dia bagaikan seorang model, dia tak banyak bicara, berpenampilan sederhana, tak pernah sekalipun dia meminta sesuatu dariku, dan dia selalu berusaha untuk mengikuti keinginanku, walau terkadang dia terpaksa melakukannya hanya karena untuk membuktikan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Namun apa dayaku, terpaksa aku harus melepaskan dirinya, demi masa depan dirinya.
Aku tahu bukan hanya aku yang terluka karena cinta ini, tapi Indah pun tentunya merasakan hal yang sama, atau mungkin bahkan lebih dari apa yang kurasakan, karena dia tidak tahu latar belakang yang sebenarnya mengapa aku memutuskan dirinya.
***
Seminggu kemudian...
Kriiiiiiiiiiing... telepon berdering.
“Halo..?”,
“Ugie? Kemana aja? masih marah ya...?”, suara yang sangat kurindukan terdengar di seberang telepon.
“Eh, Indah.., nggak kok nggak marah.., cuman saat ini aku lagi sibuk menyusun Skripsiku Ndah” aku berkilah.
“Kalo gitu aku tunggu ya di kost-an, ada yang mau aku omongin sama kamu!”,
“Ok, bentar lagi aku kesana”, aku langsung menyetujuinya.
Ntahlah rinduku padanya tak pernah padam, sehingga tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan ajakannya itu. Begitulah Indah, selalu mengalah, apabila aku marah padanya padahal bukan kesalahannya, dia tetap selalu mengalah dan membuat aku jadi malu sendiri. Dan itulah yang membuat aku semakin tergila-gila kepadanya.
Tanpa berlama-lama aku langsung ke kost-an Indah, namun aku merasa sedikit asing dan malu, karena saat terakhir ke sini aku telah memutuskan cintaku kepadanya. Namun tidak begitu dengan Indah dia dengan ceria menyambut kedatanganku seperti tidak pernah terjadi kejadian seminggu yang lalu itu.
“Gie... sini masuk”, dia menarik tanganku memasuki kamarnya, karena aku masih berdiri di luar kamarnya, padahal biasanya aku langsung masuk ke kamarnya tanpa harus disuruh.
Kami berdua langsung masuk ke dalam kamar. Dan aku masih merasa asing ditempat ini, tidak seperti biasanya.
“Gie, aku mau nanya sesuatu sama kamu, bolehkan?”, Indah membuka pembicaraan.
“Soal apa Ndah”, tanyaku datar.
“Gie, apakah ucapan kamu waktu itu sungguh-sungguh?”, lanjutnya.
“Menurut kamu?”, aku balik bertanya.
“Aku harap sih kamu nggak bersungguh-sungguh”, dia menatapku penuh harap.
Aku terdiam, aku bingung harus bilang apa, karena aku merasa tersiksa selama seminggu ini, setelah aku mengucapkan kata-kata putus itu. Rasanya ingin sekali aku memeluk dirinya dan menarik kembali semua ucapanku. Namun aku tak boleh menarik kata-kataku itu kembali.
“Gie...? gimana?”, Indah merajuk,
“Maaf Ndah, kamu tahu kan aku sangat mencintaimu, lebih dari apapun, tapi sepertinya kita sudah tidak mungkin lagi bersama, karena aku sudah tidak bisa mempercayai kamu lagi Ndah.” Aku berkilah, karena sebenarnya di lubuk hatiku yang paling dalam aku yakin bahwa dia tak mungkin mengkhianati cintaku. Saat mengatakan itu luka dihatiku terasa semakin sakit.
“Gie, aku tahu aku salah, tapi aku tak pernah berniat mengkhianatimu, tolonglah Gie sekali ini saja percaya aku! Aku tak pernah meminta apapun darimu, yang aku harapkan hanyalah ketulusan cintamu Gie”, air matanya mulai berlinang.
Nyaris saja hatiku luluh mendengarnya, nyaris aku menyerah dan mencabut kembali keputusanku. Tapi aku harus kuat, karena aku pikir saat ini adalah saat yang tepat untuk memutuskan hubunganku dengan Indah. Tak terasa, dari sudut-sudut mataku meleleh air mata, tak dapat kubendung, baru kali ini aku menangis di depan perempuan, menangis karena cinta.
“Indah, aku ikhlas kok, seandainya kamu memilih dia, aku ikhlas demi kebahagiaanmu, tak usah pedulikan aku, mencintai tak selalu harus memiliki, mulai saat ini kita berteman saja ya?”, dengan senyum yang dipaksakan dan linang air mata di pelupuk mata, karena tidak ada keselarasan antara ucapan dimulutku dengan perasaan yang bergejolak jauh di lubuk hatiku yang paling dalam.
“Gie, seandainya ada laki-laki yang harus kupilih, itu adalah kamu..., kamu Gie, Cuma kamu satu-satunya laki-laki yang paling aku cintai, tak ada yang lain Gie...”, Indah menimpali.
“Tidak Ndah, aku bukan laki-laki yang kamu harapkan, seperti katamu aku tak pernah bisa mengikuti keinginanmu, aku selalu memaksakan keinginanku kepadamu, aku selalu membuatmu menderita, mungkin selama ini aku bahagia di atas penderitaanmu dengan segala sikap keras kepalaku, sikap egoisku, untuk itu aku mohon maaf, karena itu aku faham seandainya kamu membuka hatimu untuk laki-laki lain, yang mungkin jauh lebih baik dariku”, ucapku dengan berat.
Akhirnya Indah menyerah dia menangis dipelukanku, pelukan yang sangat mengharukan, pelukan yang sangat erat, seolah tak mau lepas.
“Baiklah Gie, aku terpaksa menerima keputusanmu, tapi janji ya Gie, kamu takkan membenci aku, kamu akan selalu menjadi sahabatku, janji ya...please”, ungkap Indah sambil tersedu-sedu.
“Ok Ndah... aku pasti takkan melupakanmu, aku akan selalu menjadi sahabatmu, tidak ada alasan untuk membencimu Ndah, justru aku takut seandainya dengan keputusanku ini kamu jadi membenciku”, sambil pelan-pelan kulepaskan pelukannya, ku pegang kedua bahu Indah, kutatap matanya yang berlinangkan air mata, lalu kukecup keningnya, kecupan perpisahan.
***
Aku memang sudah putus dengan Indah, tapi kami tetap berteman, namun kali ini kami tidak terlalu sering bertemu, hanya sekali-kali saja, hal ini disebabkan aku sedang sibuk-sibuknya membereskan Tugas Akhirku, begitupun Indah sibuk dengan persiapan sidang Tugas Akhirnya. Namun di saat-saat senggang aku masih suka berkunjung ke kost-annya hanya sekedar untuk melepas kerinduanku kepadanya.
Suatu hari setelah sebulan lebih aku putus dengan Indah, aku mampir ke kost-an, namun kali ini aku tak berani langsung masuk ke kamarnya, saat diajak masuk pun awalnya kutolak, namun Indah memaksa, akhirnya kami berduaan di kamar. Namun kali ini kami hanya sekedar mengobrol.
“Gie, laki-laki yang dulu kenalan di bis itu, sekarang sering nelepon aku lho.., nggak apa-apa kan?”, ia meminta ijin seolah-olah aku masih pacarnya.
“Ya, terserah kamu dong, emang orang mana sih dia?”, aku menimpali, sebenarnya dalam hatiku masih ada rasa cemburu, namun aku sadar saat ini dia bukan pacarku lagi dan aku harus berusaha bijaksana.
“Aslinya sih dari Garut, tapi dia kerja di Jakarta”,
“Dia sering ke Bandung ke rumah kakaknya...”,
Indah bercerita dengan bersemangat, walau hatiku terbakar, aku mencoba bersabar, aku mencoba memposisikan diriku sebagai sahabatnya. Aku mencoba menyimak ceritanya sebijaksana mungkin.
Sulit memang mentransformasikan perasaan dari seorang pacar menjadi sahabat, aku sering sekali mengalami korban perasaan saat Indah menceritakan tentang laki-laki teman barunya itu, aku masih sering merasa cemburu, walau terkadang aku tak dapat menyembunyikan perasaan itu dihadapannya. Terkadang terbersit selintas pikiran untuk kembali lagi padanya, namun itu semua tak mungkin kulakukan.
***
Akhirnya Indah menyelesaikan kuliah D3-nya, dia berhasil menjalani sidang Tugas Akhirnya dengan mendapatkan nilai “A”, dan saat ini tinggal mempersiapkan diri untuk di wisuda. Dia memintaku untuk menjadi pendamping saat wisuda nanti, namun dengan berat hati aku menolaknya dengan halus. Namun aku berjanji akan membantu dia sebisanya dalam mempersiapkan dirinya mengikuti wisuda nanti.
Beberapa hari sebelum wisuda aku sibuk mengantar Indah mencari salon yang sekaligus menyewakan kebaya untuknya. Setelah beberapa salon kami datangi akhirnya kami temukan juga salon yang menyediakan pinjaman kebaya. Setelah memilih dan mencoba-coba kebaya yang ada, dan tawar menawar harga akhirnya Indah memilih kebaya berwarna putih yang sangat cocok untuknya, memang untuk ukuran tubuh seideal dia tak sulit mencari ukuran baju yang pas dengannya.
Saat ini Indah memang sedang dekat dengan Laki-laki yang selalu dia ceritakan kepadaku. Namun tak mempengaruhi hubungan aku dengannya. Anehnya Indah selalu meminta ijin kepadaku apabila laki-laki itu akan berkunjung ke kost-annya. Tentu saja aku tak bisa melarangnya karena kini dia hanyalah sahabatku, walau tak kupungkiri dalam hatiku aku melarang keras. Dan aku selalu berharap semoga laki-laki itu tak jadi mengunjunginya.
Hari wisudapun tiba, pagi-pagi sekali kurang lebih pukul lima pagi aku megantar Indah berdandan di salon, aku tunggui dia seolah-olah aku masih tetap pacarnya, begitu selesai dia dimake-up dan mengenakan kebaya yang telah dipesan sebelumnya Indah menghampiriku, dia memintaku untuk menilai penampilannya.
“Gie, udah oke belum?”, tanyanya.
Aku bengong terkesima karena melihat Indah yang begitu cantik menawan, sungguh aku terpesona, baru kali ini aku melihat dia memakai make-up dengan pakaian yang sangat serasi dengan tubuhnya. Karena sehari-hari dia tak pernah memakai make-up seperti itu, paling hanya sekedarnya saja. Namun sayang saat ini Indah bukan milikku lagi, sempat terbersit dalam benakku untuk menarik kembali keputusanku, namun aku tak berdaya.
“Gie...??”, Dia menunggu komentarku, dan aku tersadar dari lamunanku.
“Eh.. kamu cantik sekali Ndah”, hanya itu yang terucap dari mulutku, aku kehabisan kata-kata.
Diapun tersenyum puas.
Setelah acara wisuda beres Indah mampir ke rumahku, dia telah mengganti pakaiannya. Namun dia masih tetap kelihatan cantik sekali. Dia mampir untuk mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepadaku dan keluargaku. Aku sedih dibuatnya, mungkin setelah hari ini aku tak akan berjumpa lagi dengannya. Lalu Indah meminta aku dan keluargaku untuk berpose di depan kamera yang ia bawa, kemudian aku dan dia berpose kami bergandengan tangan seolah tak ingin berpisah dan diabadikan gambarnya oleh kakakku menggunakan kamera tersebut.
Kemudian aku mengantarkan Indah ke kost-annya, aku menyalami keluarganya yang tengah bersiap-siap berangkat ke Cianjur. Saat hendak berangkat, Indah berbisik kepadaku.
“Gie, jangan lupakan aku ya..”.
Seandainya saat itu tidak ada keluarganya, ingin rasanya aku memeluk dia erat-erat, ingin rasanya aku mencegahnya pergi. Semenjak saat itu aku benar-benar merasa kehilangan dia, aku selalu merindukan kehadirannya disampingku, walaupun kini dia bukanlah pacarku lagi. Separuh jiwaku terbang bersama dirinya. Kini kami hanya bisa berhubungan lewat sms dan telepon. Aku kehilangan cintaku, cinta terlarangku. Inikah yang dinamakan kasih tak sampai yang dilantunkan grup band Padi saat itu, seperti dalam baitnya...
Indah… terasa indah
bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki
Namun bila… itu semua
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita berdua… berdua…
Sudah… terlambat sudah kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik dan kita mesti relakan kenyataan ini
***
Setelah tujuh tahun lamanya aku menjalani perkuliahan, dengan susah payah akhirnya aku berhasil menyelesaikan Tugas Akhirku, dan tanpa disangka sidang Tugas Akhirku mendapatkan nilai “A”. Aku merasa puas, berarti tidak sia-sia aku mengorbankan pekerjaanku. Dengan beresnya Tugas Akhir ini berarti selesailah sudah semua kewajiban kuliahku, sehingga aku tinggal melaksanakan wisuda.
Sebenarnya aku kurang berminat mengikuti wisuda ini, yang terpenting buatku adalah aku telah terbebas dari kuliah dan mendapatkan ijazah untuk bekal masa depanku. Namun kedua orang tuaku menginginkan aku mengikuti acara wisuda itu. Dan akhirnya aku mengikuti wisuda demi membahagiakan orang tuaku, demi membuat orang tua dan saudaraku bangga.
Seusai wisuda aku pulang ke Bogor ke rumah orang tuaku, disana aku menghubungi Indah via telepon genggamnya.
“Halo..”, sapaku.
“Halo Gie”,
“Selamat ya kamu udah di wisuda, lagi dimana sekarang Gie?” sambutnya renyah.
“Kok tahu aku diwisuda Ndah?”,
“Tahu dong, aneh ya?”, candanya sambil tertawa kecil,
“Pasti dari Nunung?”, tudingku.
Indah tertawa, sambil mengiyakan.
Nunung adalah sahabat Indah semenjak kuliah di Bandung, Nunung menjadi pacar sahabatku, Odoy, dan dikemudian hari mereka menikah, kamilah yang mencomblangi mereka berdua. Dan mereka sangat terpukul saat mengetahui kami putus.
“Sekarang aku lagi di Bogor Ndah, lagi menikmati masa kebebasanku”, sambungku.
“Kok nggak mampir sih, udah lupa ya sama aku?”, dia menggodaku.
“Aku buru-buru Ndah, lagian aku ke Bogor pake bis malam.”
“Oya, kamu dah kerja Ndah?”, sambungku.
“Belum, tapi besok aku mau wawancara di Jakarta Gie.”
“Di Jakarta? Perusahaan apa?”,
“Iya, perusahaan tempat kenalannya Yan kerja, Gie” jelasnya.
“Yan...?”,
“Kamu udah jadian sama Yan?”, aku menyelidik.
Yan adalah laki-laki yang memberi jalan buatku untuk memutuskan hubunganku dengan Indah, tapi aku tetap menganggap dia telah merebut pacarku. Apapun alasannya aku benci sekali laki-laki itu. Dan aku selalu berharap agar Indah tidak jadian sama dia, biarlah laki-laki lain saja yang mendapatkan cintanya.
“Iya gie, maaf ya aku ga ngasih tahu kamu, aku takut kamu marah Gie”, dengan berhati-hati dia mengucapkannya.
“Tadinya aku ga mau nerima dia, tapi dia maksa terus Gie, dia neleponin aku terus, dia smsin aku terus, lama-lama akhirnya aku terima juga, abis kamu dah ga mau lagi sama aku sih”, sambungnya.
“Oh ga apa-apa Ndah, kamu berhak menerimanya, selamat ya”, ucapku dalam kepura-puraan, sebenarnya hatiku seakan hendak meledak mendengar kabar tersebut, hatiku terbakar perasaan cemburu yang teramat sangat. Namun aku harus menyembunyikan rasa itu, aku harus bertindak sebagai seorang sahabat yang baik. Lalu aku membelokkan pembicaraan.
“Ndah kalo sempet, dari Jakarta mampirlah sebentar ke Bogor”,
“Iya deh aku usahain, mudah-mudahan besok wawancaranya sebentar ya Gie, doain aku, biar lulus ya”, jawaban yang tak terduga, kusangka Ia akan menolaknya, karena tadi aku sekedar basa-basi saja. Tapi aku senang mendengar jawabannya itu.
Esoknya dia sms aku,
Aku membalasnya,
Buru-buru aku menuju terminal bis Bogor memakai mobil ibuku. Kurang dari setengah jam aku tiba di sana. Kulihat seorang perempuan cantik sedang duduk di depan pos polisi di dekat pintu gerbang keluar terminal itu, dialah Indah mantan pacarku. Aku membuka kaca samping sebelah kiri mobilku, kemudian aku panggil dia. Dia menghampiri lalu masuk ke dalam mobil. Aku menyalaminya, tanpa sadar aku mengecup keningnya, dan dia terdiam seolah mengijinkannya.
Kami makan siang di Taman Topi, disana kami asyik saling bercerita melepas kerinduan kami, yang telah sekian bulan lamanya tak pernah bertemu. Tiba-tiba telepon Indah berbunyi. Ia menempelkan telunjuk ke bibirnya, memintaku diam, karena ternyata Yan meneleponnya.
“Halo..”, Indah menyapa.
Entah apa yang dikatakan Yan di seberang sana. Karena tak terdengar olehku.
Yang kudengar hanyalah suara Indah, sambil dia melirik ke arahku, seolah merasa bersalah kepadaku.
“Udah tadi, sekarang masih di jalan”,
“Nggak ah, takut kesorean, langsung pulang aja”,
“Sendirian”,
“Iya, daah...”.
Itulah selintas percakapan yang diucapkan Indah, yang terdengar jelas olehku. Setelah itu dia menatapku dalam, seolah ingin menembus jantungku dengan tatapannya. Tatapan yang penuh kasih dan penyesalan.
“Maaf ya Gie, barusan Yan nelepon, kamu ga marah kan?”,
Aku tersenyum, aku tatap matanya yang Cantik itu, yang membuat hatiku selalu merasa damai saat menatap mata itu.
“Ga apa-apa Ndah, aku bahagia sekarang kamu sudah ada yang melindungi, menggantikan aku, aku ikhlas Ndah”, aku berlagak bijaksana, walau bertolak belakang dengan hatiku yang maradang akibat terbakar api cemburu.
“Makasih ya Gie, Yan kira aku masih di Jakarta, dia memintaku untuk menemuinya di Jakarta, ia nanyain aku lagi sama siapa, aku jawab aja lagi sendirian”,
“Kalo dia tahu aku lagi sama kamu, dia pasti marah besar Gie. Dia tuh cemburu banget lho sama kamu, dia tahu kalo kamu sangat berarti buatku Gie”, Imbuhnya mesra.
Aku tersenyum bangga, ternyata perempuan di depanku ini masih menaruh perhatian untukku. Kurang lebih jam empat sore aku antarkan Indah ke terminal bis, karena dia harus pulang ke Cianjur, berat rasanya harus melepas dia pergi. Saat bis yang ia tumpangi pergi, dari balik kaca dia melambaikan tangannya, sepintas terlihat matanya berlinang air mata, aku jadi terharu dibuatnya.
Itu merupakan pertemuan terakhirku dengannya, semenjak saat itu kami tidak pernah berhubungan lagi. Aku memutuskan kontak dengannya, aku sadar sekarang dia sudah memiliki laki-laki lain sebagai pacarnya yang telah menggantikan aku, sengaja aku melakukannya agar aku dapat melupakan dia, namun semakin aku berusaha melupakan dia, semakin aku merindukannya, semakin terasa teramat sakit di hatiku yang semakin meradang. Inilah mungkin yang dinamakan penyakit Cinta.
***